Seorang anak tengah divaksinasi foto : Jovan Mandic/kompas.com |
Bayangkanlah, ternyata masih ada lebih dari 19 juta anak di dunia yang tidak divaksinasi atau vaksinasinya
tidak lengkap, yang membuat mereka sangat berisiko untuk menderita
penyakit-penyakit yang berpotensi mematikan. Sebanyak 1 dari 10 anak ini tidak
pernah menerima vaksinasi apapun dan umumnya tidak terdeteksi oleh sistem
kesehatan.
Ketua
Umum Pengurus Pusat IDAI DR. Dr Aman B Pulungan, Sp. A (K) FAAP mengatakan,
anak-anak yang tidak tervaksinasi ini bukan hanya dari keluarga tidak mampu.
Ada seorang anak jelang dewasa dari orang tua yang mampu terkena difteri. Ternyata, anak ini tak pernah menjalani
vaksinasi.
Padahal,
imunisasi dapat mencegah bahkan bisa menyelamatkan nyawa karena merupakan
tindakan paling berhasil dan sangat efektif di dunia karena biayanya
hemat. Di sisi lain, jangkauan imunisasi
yang luas berperan sangat penting dalam mencapai sustainable development goals
(SDG).
Dalam
Pekan Imunisasi Dunia 24-30 April 2018, yang bertema Capai Imunisasi Lengkap : Bersama
Melindungi dan Terlindungi di kantor IDAI, tanggal 25 April 2018, Ketua Satgas
Imunisasi IDAI Prof. Dr. Cissy B
Kartasasmita, Sp.A (K), Msc, PhD mengatakan, vaksinasi tidak hanya mencegah
penderitaan dan kematian yang terkait dengan penyakit menular.
PD3I
atau penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah polio, hepatitis B,
HiB, tetanus, campak, difteri, dan pertusis. Penyakit-penyakit ini masih
menjadi megancam dunia. Angka KLB (kejadian luar biasa) di negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, cukup
tinggi.
Kejadian
penyakit menular cenderung meningkat menjadi KLB. Kematian tinggi, biaya
pengobatan individu meningkat mengakibatkan meningkatkn biaya kesehatan
nasional.
Salah
satu kasus KLB yang sempat mengheboh adalah terjadinya KLB Difteri yang terjadi
pada November 2017, yang tercatat 593 kasus difteri dan 32 meninggal. Data
Kementerian Kesehatan, difteri yang mengancam Indonesia itu terjadi di provinsi
Jawa Timur 9271 kasus, 11 kematian), Jawa Barat (95 kasus dan 10 kematian),
Banten (81 kasus, 3 kematian), Aceh (76 kasus, 3 kematian), Sumatera Barat (20
kasus ), DKI Jakarta (16 kasus, 2 kematian)
Terjadinya
ancaman difteri ini menunjukkan adanya Gap Imunnit atau adanya kelompok
masyarakat yang tak punya kekebalan. Kasus difteri yang terjadi itu akibat Tak
Diimunisasi (66%), Diimunisasi Tak Lengkap (33%).
Muhamad
Subuh , Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian
Kesehatan di Tempo. Co tanggal 7 Desember 2017, KLB Difteri menjadi indikasi
kenyataan bahwa sebagian besar tidak diimunisasi.
Lambang IDAI (dok,windhu) |
Keraguan Terhadap Imunisasi
Kenapa
masih ada masyarakat yang ragu terhadap imunisasi? Menurut Piprim Basarah Yanuarso dari Departemen Ilmu Kesehatan FKUI-RSUPN Cipto
Mangunkusumo, sekaligus Ketua I PP IDAI 2017-2020, keraguan terhadap imuniasai
timbul akibat munculnya beragam info sensitif, seperti Isu KIPI, isu halal
haram vaksim, isu kandungan zat berbahaya dalam vaksin, dan beragam isu
lainnya.
Direktur
Surveilans dan Karantina Kesehatan
menyebutkan imunisasi tidak dilakukan karena takut panas, keluarga tidak
mengizinkan, tempat imunisasi jauh, sibuk/repot, sering sakit, tidak tahu
tentang imunisasi.
Mengenai
demam yang timbul setelah imunisasi, sebenarnya masyarakat tidak perlu khawatir
karena merupakan reaksi normal yang akan hilang setelah 2-3 hari. Kejadian
Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang serius sangat jarang terjadi.
Piprim
menekankan jumlah meme anti vaksin yang
amat banyak, vaksin, dan beragam ketimbang meme pro imunisasi. Selain itu, peran
media juga sangat penting karena masih ditemui judul berita media yang
provokatif. Sehingga, semua kejadian ikutan pasca imunisasi dianggap akibat
imunisasi.
|
Keamanan Vaksin
Hindra
Irawan Satari, Ketua Komite Nasional Pengkajian Dan Penatalaksanaan Kejadian
Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas PP KIPI) mengatakan, kelompok anti vaksin seringkali melebih-lebihkan dari risiko
imunisasi, tanpa adanya bukti ilmiah.
Kelompok
anti vaksin ini menggambarkan jika vaksin itu tidak efektif, padahal risiko
tersebar muncul atau mewabah, justru terjadi apabila anak tidak divaksinasi.
Menurut Hindarawan, proses produksi
vaksin telah melalui riset yang panjang serta menggunakan standar Good Clinical
Practive, serta berdasarkan etik yang ketat.
Selain
itu, meski telah dilisensi, vaksin tetap dipantau dengan baik oleh pemerintah
maupun badan independen yang kompeten. Badan POM berperan dalam memastian mutu
vaksin yang diduga penyebab kasus KIPI.
Vaksin
adalah suatu prodyk yang menghasilkan
kekebalan terhadap penyakit dan dapat diberikan melalui jarum suntik, melalui
kulit, atau diberikan melalui mulut, dan juga dapat diberikan dengan
penyemprotan
Sementara
vaksinasi diartikan sebagai tindakan penyuntikan organisme yang mati atau
dilemahkan, untuk selanjutnya akan menghasilkan kekebalan tubuh terhadap
organisme tersebut.
Pembentukan
vaksi,lanjut Hindra, dibagi dua tahap, yakni
-Tahap
preklinik : riset dilakukan di laboratorium dan pada binatang, termasuk di
dalamnya identifikasi/penemuan antigens, kreasi konsep vaksin, evaluasi khasiat
vaksin di laboratorium dan binatang, standar pembuatan vaksin menggunakan standar
Good Manufacturing Practive.
-Tahap
Klinik : diuji pada manusia, yakni dilakukan bertahun-tahun dimulai dari fase I
sampai fase IV, berdasarkan prinsip etika yang ketat, dan persetujuan relawan,
fokus pada keamanan dan khasiat.
-Fase
I penelitian dengan skala kecil untuk memastikan keamanan vaksin dan respon
kekebalan tubuh. Syarat penelitian di Eropa, fase I a diberikan pada relawan di
Eropa, fase I b dilakukan pada populasi di negara berkembang.
Fase
II Clinical Trials, yang merupakan skala besar, terutama untuk khasiat dan
keamanan vaksin.
Fase
3, yakni skala luas ratusan relawan di beberapa lokasi, sehingga jumlahnya jadi
ribuan, evaluasi khasiat dalam kondisi infeksi alamiah, bila vaksin aman dan
berkhasiat maka dilakukan lisensi di negara-negara tertentu, di Indonesia di
Badan POM berdasarkan rekomendasi Komnas Obat/Vaksin
.
Fase
4, sudah final, setelah vaksin di lisensi dan digunakan, disebut sebagai Post
Marketing Surveillance, bertujuan untuk mendekati kejadian simpang jarangserta
memantau keamanan jangka panjang.
Mengenai
kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI), diartikan sebagai semua kejadian medik
setelah imunisasi, yang menjadi perhatian dan diduga berhubungan dengan
imunisasi, bisa berupa gejala, tanda, penyakit, atau hasil pemeriksaan
laboratorium.
Nah,
KIPI dikaji oleh Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan
Pasca Imunisasi (Komnas PP KIPI), komite independen yang melakukan pengkajian
untuk penanggulangan laporan khusus
diduga KIPI di tingkat nasional. Terdapat 34 Komite Daerah PP-KIPI.
Imunisasi dan Fatwa MUI
Dalam
syariat Islam, ada 5 hukum syara’ yang
disepakati, yakni Wajib, Sunah, Mubah, Makruh, dan Haram. Lalu bagaimana posisi
imunisasi , yang dimaksudkan sebagai suatu proses meningkatkan sistem kekebalan
tubuh terhadap penyakit tertentu dengan cara memasukkan vaksin?
Dr.
H. M Asrorun Ni’am Sholeh, MA dari MUI mengatakan, dalam fatwa MUI disebutkan
al-Dlarurat adalah kondisi keterpaksaan yang apabila tidak diimunisasi dapat
mengancam jiwa manusia dan al-hajat adalah kondisi keterdesakan yang apabila
tidak diimunisasi maka akan dapat menyebabkan penyakit berat atau kecacatan
pada seseorang.
Fatwa
MUI No.04 tahun 2016 menyoal tentang
imunisasi kegiatan (program) imunisasi dan zat yang terkandung dalam vaksin. Dalam
fatwa tersebut disebutkan, program imunisasi hukumnya wajib, dalam poin , yakni
:
Dalam
hal jika seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit
berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan
dipercaya, maka imunisasi hukumnya wajib.
Sebagai
strategi mengatasi keraguan terhadap imunisasi, lanjut Ni’am, harus menyentuh
sisi emosi pada saat kampanye imunisasi, tak hanya aspek pengetahuan semata,
bekerjasmana dengan MUI dan tokoh ulama setempat dalam meyakinkan masyarakat
terhadap pentingnya imunisasi, menjelaskan dengan bahasa yang mudah tentang
KIPI, meyakinkan masyarakat akan keamanan vaksin.
Karenanya,
imunisasi untuk kepentingan kesehatan sangat dianjurkan, bahkan dapat dikatakan
wajib jika berpegang pada saduzdzariah. Imunisasi dengan adanya campuran bahan
haram, dan vaksin tersebut sudah dicuci dengan baham kimiawi, maka hukumnya
menjadi halal (suci). Hal ini dengan dasar istihalal dan istihlak.
Jika
ada indikasi keharaman, maka hukumnya tetap boleh dengan alasn darurat dan
mengambil mudharat yang lebih ringan. Jadi, imunisasi sangat berperan penting.
Sebab
berdasarkan Global Vaccine Action Plan (GVAP) 2020, yang disahkan oleh 194 anggota negara pada World Health Assembly
ke-60 tanggal 12 Mei 2012, suatu kerangka kerja untuk mencegah jutaan kematian
akibat penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin pada tahun 2020 melalui akses
universal untk imunisasi.
Saya anak sehat yg ikut divaksinasi. Yeay...
BalasHapusMemang agak waswas sih kalau habis imunisasi takut panas. Kalau di RS ada imunisasi yang lebih mahal dan itu emang gak bikin panas. Tapi mahaaal bener haha.
BalasHapusOrang-orang yang anti vaksin mungkin gak paham ya kalau vaksin itu dibuat untuk keselamatan orang banyak dan telah digunakan di seluruh dunia.
Imunisasi itu buat mencegah tumbuh kembang penyakit. Kalau nggak dapat vaksin, entah seperti apa penyakit jadi semakin menyebar luas, dan yang jadi korbannya tentu yang rentan terkena penyakit, salah satunya adalah anak-anak
BalasHapusPadahal imunisasi itu telah dijamin sama MUI ya tapi herannya masih banyak yang anti dan skeptis dengan imunisasi. Semoga makin banyak yang sadar deh mbak orang-orang di luar sana utk melakukan imunisasi kepada anaknya.
BalasHapusMelakukan Vaksinasi Penting banget ya untuk mencegah keluarga kita dari berbagai penyakit mematikan yang lagi marak beredar
BalasHapusImunisasi ini sebenarnya bagua untuk mencegah penyakit. Tapi masih ada bbrp orang tua yg tidak mau memberikan imunisasi ke anaknya dengan alasan obat yang diberikan mengandung babi. Pdhl semua obat sudah teruji di BPOM
BalasHapusImunisasi memang penting, untuk pencegahan penyakit, pas kecil dlu aku juga selalu rutin diimunisasi.
BalasHapusCadas . Ada Pak Asrorun Niam tokoh muda MUI yg kuat Fiqihnya.beliau jg pernah jd ketia KPAI jd jelas perhatian trhadp anak.dgn jajaran narasumber berkompeten ini moga makin banyak yg tercerahkan
BalasHapusUntung saja aku sudah imunisasi sejak kecil. Alhamdulillah, efeknya terasa saat dewasa bisa sehat wal'afiat hingga sekarang*
BalasHapusSelain yang antivaks, ada juga tuh orang-orang yang nganggap enteng vaksin. Contoh kasus yang penyuntikan vaksin difteri kapan hari itu. Nakes posyandu di tempatku bilang, banyak yang kecolongan di kelompok anak usia sekolah. Yang nyedihin, masa beberapa anak nggak dibolehin ortunya sekolah pas ada momen vaksin dengan alasan dulu udah pernah dan nggak perlu lagi. Kalau vaksin, nanti anakku tambah sakit. Hadeuh...
BalasHapusKalau saya percaya sama pemerintah, mereka bilang vaksin aman dan anjurkan vaksin ya sbg warga negara yg baik saya vaksin semua anak saya. Sekaligus buat usaha menjaga kesehatan anak dan anak2 org lain.
BalasHapusBerita-berita yang ada berkaitan dengan imunisasi kebanyakan KIPI ya daripada "ini lho dampak kalau nggak diimunisasi. Tugas kita deh buat menginformasikan yang benar.
BalasHapusDlu aku takut bgt di imunisasi, sampe nangis2. Tp mang penting bgt sih imunisasi ini, agar tdk.mudah terserang pnyakit
BalasHapusSaya juga hampir melalaikan tugas sebagai orangtua dalam memberi hak anak untuk sehat dengan imunisasi, pernah kemakan omongan tetangga kalau imunisasi itu tidak penting bagi anak.
BalasHapusIntinya imunisasi itu mencegah ya mba,,, kita sbg ortu hrs aware nih untuk anak2 biar lengkap imunisasi nya
BalasHapusYang bikin2 was-was itu ya ketika anak demam... Pasca imunisasi..
BalasHapusPadahal imunisasi aman2 aja .
Yuk dukung goverment dengan ikut imunisasi 5 dasar lengkap untuk anak kita...
BalasHapus