Poster film Rudy Habibie(MDent) |
MENJADI Sebuah mata air bagi lingkungan. Sosok yang
bermanfaat tidak hanya bagi diri sendiri, melainkan juga bagi orang lain,
keluarga, bahkan bangsa dan negara. Mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan
sebagai sumber daya sebagai manusia (SDM).
Semua itu terpatri dalam diri Prof.Dr,Bacharudin Jusuf
Habibie, mantan Presiden RI ke-3 Indonesia. Lelaki berdarah Gorontalo dan Jawa
ini selalu dikenal sebagai sosok jenius. Di negara ini, namanya selalu lekat
dengan pesawat terbang. Ya, sejak kecil
lelaki bermata tajam ini memang sudah sangat menyukai pesawat terbang dan
memainkan Miccano (blokken).
Kecintaannya pada pesawat terbang telah mengantarkannya pada
studi dan hidupnya yang selalu bersentuhan dengan pesawat terbang. Tidak hanya
saat berkuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), pun saat memutuskan untuk
mengambil perkuliahan di Jerman.
Perjalanan hidup BJ Habibie saat masih anak-anak hingga saat
kuliah di Jerman ini tertuang dalam film Rudy Habibie, yang telah ditayangkan
sejak 25 Juni 2016 lalu. Film yang mampu menyedot perhatian para pecinta film
Indonesia ini hingga satu bulan setelah penayangannya sudah menembus lebih dari
satu juta penonton.
Kebetulan, saya berkesempatan untuk nonton bareng dengan
mantan presiden ini, dalam acara nobar
sebuah bank. Selain saya berkesempatan juga bersalaman dengan eyang Habibie,
lelaki yang pernah menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Film Rudy Habibie diambil dari nama panggilan Baharudin
Jusuf Habibie, yakni Rudie. Film yang memiliki durasi tayangan lebih dari dua
jam ini diawali dengan masa kecil Habibie, yang diwarnai masa penyerangan
sekutu saat masih tinggal di Pare-Pare. Sebelum akhirnya pindah ke Gorontalo,
tempat asal Alwi ayah Habibie.
Sejak kecil, Rudy Habibie sudah sangat menyukai pesawat
terbang. Meski kemudian ayahnya meninggal dunia secara mendadak akibat serangan
jantung, ketertarikan Rudy pada pesawat terbang tidak berkurang. Sampai saat kemudian memutuskan melanjutkan
kuliah di RWTH Ancheen, Jerman, keinginan Rudy untuk membangun industri pesawat
terbang di tanah air Indonesia tidak pernah pupus.
Namun, semuanya
tidaklah selalu mudah bagi Rudy yang dibiayai sendiri oleh Tuti, maminya di
Bandung. Rudy dibully karena adanya senioritas dari sesama mahasiswa Indonesia
di Jerman. Belum lagi terkadang menghadapi masalah keuangan karena telatnya
kiriman uang dari maminya, sehingga terpaksa harus menahan lapar.
Pun masih ditambah dengan saat awal tidak ada rumah yang mau
menampung mahasiswa asal Indonesia, karena tidak mengenal nama negara ini. Saat
ingin beribadah shalat juga sulit karena tidak ada masjid sehingga Rudy
terpaksa shalat di bawah tangga kampus.
Meski begitu, di Jerman pula, Rudy mengenal persahabatan
yang tulus dan cinta dari seorang perempuan bernama Ilona asal Polandia.
Belajar mengenai pesawat terbang, yang ingin diterapkannya di Indonesia. Napas nasionalisme dan kecintaan
kepada negeri yang sangat tinggi.
Dalam film itu, Rudy yakin segala sesuatu dapat
diselesaikan. Polanya selalu pada adanya fakta, adanya masalah, dan adanya solusi.
Tidak ada kata menyerah dalam pemikiran Rudy, yang rerligius.
Saat kesulitan-kesulitan datang menghampirinya dalam
kegiatan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Aachen. Habibie selain berusaha
dengan gigih, tetap taat beribadah menyerahkan segalanya pada Allah. Setiap
waktu luang dimanfaatkannya dengan membaca sebuah buku dan belajar.
Prof. Dr Bacharudin Jusuf Habibie yang memberikan pemaparan
singkat sebelum tayangan film dimulai, menekankan pentingnya kualitas sumber
daya manusia (SDM) dimiliki. Bahkan lebih penting daripada hanya mengandalkan
pada sumber daya alam (SDA).
“Mengandalkan pada sumber daya alam itu kalah dan salah.
Harus mengandalkan pada sumber daya manusia,” kata Habibie.
Menurut Habibie, tiga elemen seperti agama, budaya, dan ilmu
pengetahuan teknologi sangat baik dikuasai. Namun, itupun belum tentu dapat
membawa seseorang pada keunggulan dan memiliki daya saing yang tinggi. Masih
dibutuhkan adanya lapangan pekerjaan dalam bidangnya masing-masing.
Manusia
mengalami proses keunggulan sehingga semua itu harus dipersiapkan sedini
mungkin.
Habibie menyampaikan, sektor turisme pun tidak bisa
diandalkan begitu saja. Turisme akan datang bila ada orang yang berduit. Lebih
dibutuhkan SDM yang mampu membuat produk yang unggul dan memiliki daya saing.
Semua ini membutuhkan waktu.
Sehingga, tidak cukup
hanya pada budaya, pendidikan, dan kesehatan yang jitu. Sementara di sisi lain
lagi-lagi Indonesia masih mengimpor barang-barang dari luar negeri.
Harus dapat memproduksi barang sendiri dan setiap produk
yang dimanfaatkan dibayar dengan pekerjaan dan dengan jam kerja. Karena hanya
orang bekerja yang bisa membayar pajak, sedangkan orang yang tidak bekerja bisa
ribut karena tidak memiliki uang.
Habibie yang kini berusia 80 tahun memiliki definisi sendiri
dengan menyebut siapa pun yang dibawah 41 tahun sebagai cucu intelektual dan
siapa pun yang di bawah usia 65 tahun adalah anak intelektual.
Habibie menegaskan jika Jerman adalah negara yang tidak
mengandalkan pada sumber daya alam (SDA) melainkan SDM (sumber daya manusia).Dalam film itu, juga terungkap bahwa Rudy Habibie pun
ternyata pandai menyanyi karena menggagas malam Indonesia di Jerman. Selain itu
juga jago memasak sejumlah hidangan dan meracik kopi.
Termasuk saat ditanya mengenai Ilona, mantan kekasihnya asal
Polandia sebelum dijodohkan dengan Ainun. Habibie semakin membuat kagum dengan
jawabannya yang menyatakan kesetiannya pada Ainun, perempuan yang telah
dijodohkan oleh ibunya.
Nice post, Mbak Rindhu!
BalasHapusSemoga banyak penerus Habibie selanjutnya di Indonesia, Amin :)
Duh! Aku belom nonton.. >_<
BalasHapus