|
Coba tanya orang yang tinggal atau pernah hidup di Jakarta. Sebagai ibu kota negara, Jakarta itu ya nggak jauh-jauh dari macet. Jadi, kalau ada yang berani bilang telat datang ke kantor atau ke sebuah kegiatan karena macet, siap-siap saja ditertawakan alasannya.
Sebagai konsekuensi menghindari macet selama
ini, mau tidak mau harus rela berangkat dari dan pulang ke rumah dengan waktu tempuh yang
berjam-jam lamanya. Minimal harus menyediakan
satu jam perjalanan baru bisa menarik napas lega dan merasa selamat sentosa di
tempat tujuan dan terhindar malu telat.
|
Saya pernah menempuh perjalanan dari arah Slipi ke Thamrin nyaris satu setengah jam saat jam sore pulang kantor jam 5-an. Pernah juga meringis berdiri kecapekan di atas bus kota dari arah Pancoran hingga Slipi sekitar dua jam. Gregetan banget!
Termasuk
melakukan perjalanan dari arah Palmerah ke Cikarang pun sampai membutuhkan
waktu tempuh hampir 4 Jam. Gelisah dalam perjalanan sudah tentu. Kalau dapat
tempat duduk, dari belum tidur, tertidur, hingga bangun lagi belum
sampai-sampai juga. Nah, kalau nggak dapat tempat duduk, kebayang kan seperti
apa?
Makanya, saat melihat teman saya tidak
beranjak dari depan layar komputer kantor padahal
jam ngantor sudah habis, saya nggak heran. “Kok belum pulang?” tanya saya.
Jawaban biasanya, “Nanti aja. Nggak berani pulang jam segini. Jam macet. Habis
shalat Maghrib saja biar sudah lebih kosong. Capek di jalan.”
|
Punya
alasan yang sama? Macet itu memang bikin derita. Makanya, saat saya membaca di sejumlah
badan bus Trans Jakarta bertuliskan Merdeka atau Ma...cet, saya tersenyum
sekaligus berharap.
Saat ini memang belum kesampaian merdeka dari
macet sih, tapi sudah cukup terbantu banget dengan adanya transportasi publik
seperti Trans Jakarta ketimbang bus kota sebelumnya dan keberadaan commuter
line yang sudah jauh lebih baik.
Lalu
kenapa masih macet? Orang Indonesia,
tepatnya Jakarta banyak yang lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi.
Sebagai pengguna transportasi umum, saya melihat ada beberapa hal yang membuat orang
enggan naik transportasi umum :
|
1. Transportasi Umum Banyak yang Tidak Layak
Bisa
dibilang, transportasi publik saat ini yang sudah cukup nyaman daripada
sebelumnya, masih terbatas Trans Jakarta dan Commuter Line. Armada taksi ada
tapi ongkosnya lebih mahal. Beberapa mikrolet untuk rute terbatas ada juga yang
sudah ber-AC. Selebihnya, kendaraan mikrolet, bus sedang kopaja/metromini masih
yang mengerikan. Panas kegerahan karena jendela tidak bisa terbuka itu biasa.
Termasuk saat hujan sehingga terpercik air karena jendela atau pintu susah
ditutup, juga sudah biasa. Tempat sampah
di dalam kendaraan umum banyak yang tidak ada. Lampu pun tidak jarang ada yang
mati sehingga gelap selama perjalanan. Belum lagi harus batuk-batuk karena polusi
dari asap knalpot kendaraan yang tercium.
|
2. Kurangnya Keamanan dan
Kenyamanan
Naik
kendaraan umum seringkali nggak merasa aman. Kenapa? Ya, supirnya terkadang
masih ada yang suka kebut-kebutan sampai deg-degan jantung mau copot. Sudah
gitu, sering juga menurunkan penumpang seenaknya tidak sampai tempat tujuan.
Memang sih, ada juga penumpang yang minta turun tidak di halte.
Soal
kenyamanan kendaraan umum? Kalau sudah ada pengamen atau orang bertato dan beranting, yang meminta uang
dengan menyebut tidak akan membuat jatuh
miskin dengan kasih sumbangan, suasana mencekam dimulai. Belum lagi, ketakutan
kalau-kalau ada dompet atau benda berharga yang dimiliki, seperti ponsel bisa hilang.
Halte-halte
bus dan juga jembatan penyeberangan pun terkadang ada yang gelap, sehingga
sering menimbulkan takut ada orang jahat atau orang berlaku tidak senonoh.
|
3. Kendaraan Pribadi Bisa Sampai Depan Rumah
Naik
kendaraan pribadi itu bisa sampai rumah nggak perlu repot. Coba kalau naik
kendaraan umum kalau lagi banyak membawa barang, terbayang hebohnya. Banyak perumahan yang jauh letaknya dari jalan raya. Kalau bareng anak-anak atau orang tua, menimbulkan repot ganda.
Makanya,
banyak teman saya ketika melihat bisa mencicil mobil dengan DP Murah dan kisaran
kredit di bawah 5 juta, banyak yang mengambil. “Kasihan anak-anak atau kasihan
orang tua.” Itu alasannya.
Bila
tak ingin menggunakan kendaraan pribadi, langkah lain untuk menembus kemacetan adalah menggunakan
motor online, yang sudah secara langsung
bisa mengantarkan dari depan tempat berangkat ke tempat tujuan.
|
4. Sarana Publik Menuju Tempat Transportasi Tidak Mendukung
Terkadang,
antara halte dan tempat penyeberangan agak jauh letaknya.Sudah gitu, trotoar
untuk pejalan kaki banyak yang tidak asyik dilewati. Bisa dibilang, sarana trotoar yang
cukup nyaman dan lebar hanya di jalan-jalan besar di Jakarta, seperti Sudirman,
Thamrin, Kuningan.
Selebihnya,
kondisi trotoar di Jakarta tidak mendukung. Sudah kecil. Habis dipakai oleh
para pedagang kaki lima untuk berjualan. Terkadang, pengendara motor
menyelonong naik ke trotoar kalau macet.
Terpaksa
deh, yang jalan kaki justru turun ke jalan aspal biar enak bisa jalan. Selain
itu, ketinggian trotoar jalan yang tidak sama membuat pejalan kaki menjadi naik
turun. Masih ditambah cuaca yang panas kalau siang hari karena pohon yang tidak teduh.
|
5. Budaya Tidak Biasa Jalan
Kaki
“Kamu
lewat halte Trans Jakarta yang panjang banget itu?” seringkali teman-teman
bertanya. Banyak orang yang memilih tak melewatinya, sementara saya suka berjalan
kaki jika sedang tidak buru-buru. Senang
melihat dari atas ketinggian jembatan penyeberangan kondisi jalan raya.
Banyak teman saya yang bilang nggak kuat. Saya
percaya saja kalau menggunakan sepatu hak tinggi. Karena itu, saya kalau jalan jauh lebih
suka pakai sepatu alas kaki yang datar biar kuat. Selain tidak terbiasa jalan kaki,
banyak juga masyarakat Jakarta yang tidak biasa berdiri lama-lama di kendaraan umum. Apalagi saat macet.
|
Umumnya,
ke-5 hal itu yang biasa saya temui sebagai pengguna transportasi publik. Nah,
tapi bukan berarti semua itu membuat patah semangat menjadi masyarakat Jakarta
untuk merdeka dari macet.
Beberapa
permasalahan yang sering ditemui terkait transportasi publik memang terkadang
memerlukan penanganan berbagai pihak dan membutuhkan waktu pembenahan.
|
Namun, sudah saatnya pula sebagai masyarakat yang baik Bekerja Bersama #Ubah Jakarta dengan mengubah gaya hidup beralih ke transportasi publik. Kalau jumlah kendaraan pribadi tak dikurangi, masalah kemacetan tak akan bisa terselesaikan dengan cepat.
Saat
ini, sudah ada Trans Jakarta dan Commuter line yang kondisinya jauh lebih
nyaman. Meskipun jumlah yang berdiri lebih banyak daripada yang duduk, sudah
lebih menyenangkan karena sudah ada kipas angin dan pendingin udara (AC). Kebersihan lebih terjaga. Sistem
Ticketingnya pun lebih baik.
Tap in dan Tap Out yang cepat akan memudahkan pengguna transportasi umum (dokpri)
|
Hanya
saja, kebiasaan masyarakat yang tidak biasa mengantri. Saling berebut dan
berdesak-desakan saat akan naik dan turun kendaraan umum masih perlu mendapatkan edukasi. Selain itu, masih ada yang makan dan membuang sampah sembarangan di dalam kendaraan umum.
Ditambah
lagi, hingga kini petugas tak jarang
ditemui berteriak-teriak untuk meminta kursi prioritas diberikan pada perempuan
hamil dan menyusui, membawa anak, dan penyandang difabel. Kursi prioritas masih tetap
menjadi incaran penumpang saat naik transportasi publik.
|
Pembangunan
sarana transportasi baru mass rapid
transit (MRT) yang terintegrasi terpadu
dengan transportasi publik lainnya, yakni light rail transit (LRT), commuter
line (CL), KA Bandara Ekspress, bus rapid transit (BRT) dan angkutan umum
lainnya, diharapkan dapat mengubah gaya hidup dan gaya bertransportasi di
Jabodetabek.
Direktur
Operasional dan Pemeliharaan PT MRT Jakarta, Agung Wicaksono, seperti dikutip
dari website jakartamrt.co.id bersumber Antara menyebutkan, perkembangan
konstruksi proyek MRT Tahap I rute Lebak Bulus – Bundaran Hotel Indonesia
ditargetkan mencapai 78 persen pada akhir Agustus 2017.
|
Hal ini dikatakan Agung di sela-sela seminar “Towards Transit Oriented Development (TOD) in Indonesia” di Jakarta 23 Agustus lalu. Harapan merdeka kemacetan bisa dimungkinkan.
Apalagi
dengan adanya TOD, seperti kata Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, akan
menyediakan fasilitas yang memudahkan pengguna tranportasi publik. Selain
sebagai tempat transit, akan memenuhi bagian life style masa kini sebagi tempat
bisnis. Pun tak jauh dari tempat tinggal.
Sebagai
pengguna transportasi publik, yang saya harapkan tentu saja merdeka dari macet.
Kendaraan umum yang nyaman dan aman. Waktu tempuh yang lebih singkat dengan
kemudahan pembelian tiket. Tidak merasa was-was kalau di halte dan transportasi
umum. Tentu saja, tetap dengan ongkos murah sehingga meringankan kantong. Selain itu, fasilitas buat difabel pun tersedia.
Tiketing yang mudah dan harga tiket yang murah penting untuk transportasi umum (dokpri) |
Bahkan, jika saya lapar bisa mampir sebentar untuk sekedar makan cemilan atau sesuatu yang menyenangkan di TOD. Bisa juga sambil cuci mata melihat souvenir khas Indonesia. Ah, jadi nggak sabar ada MRT yang diharapkan 2019 sudah bisa beroperasi. Apalagi, saya pernah berkunjung ke dalam terowongan MRT.
Soal jalan
kaki menuju halte, tidak ada apa-apa.
Kalau semuanya nyaman dan aman, masyarakat pasti terbiasa. Hitung-hitung
olahraga. Yuk, sudah saatnya mengubah gaya hidup dengan Bekerja Bersama
#UbahJakarta dengan menggunakan Transportasi Publik MRT.
Maret 2019 masih lama juga ya... Btw itu foto orang makan2 di trotoar kayaknya aku tau tuh di mana ��
BalasHapusTargetnya 2019, mudah-mudahan sudah bisa terealisasi. Sambil menunggu itu, yuk kita biasakan jalan kaki dan naik kendaraan umum. lainnya. Btw, dimana coba lokasinya yang makan- makan di trotoar? ��
HapusNahhh nah naaahhh bener banget tuh yang dijabatin di atas tentang knp org enggan naik kendaraan umum. Termasuk aku. Aku paling anti naik bus umum karena pasti berdiri. Sebisa mungkin aku gak naik metromini atau kopaja karena takut. Alasan utamanya ya kenyamanan sih intinya.
BalasHapusIya, mbak Wian. Semoga saja ya, transportasi publik seperti MRT dan yang terintegrasi lainnya b isa menjadi jawaban dan pilihan buat masyarakat pengguna. Keamaanan dan kenyamanan memang penting banget.
HapusSemoga setelah Proyek MRT selesai, Jakarta bisa lebih baik. Karena saya yang tinggalnya bukan di Jakarta saja sudah membayangkan seperti apa macetnya Jakarta. Sebagian besar warganya hidup lama di jalan karena macet
BalasHapus