Salah satu perayaan Imlek (dok.windhu) |
Peranakan Tionghoa di Kalimantan Barat punya keunikan dalam merayakan datangnya Cap Go Meh, yang menandai hari terakhir perayaan tahun baru Tionghoa. Mereka menyebutnya dengan Cang Nyiat Pan. Kemeriahan dan suasana berbeda dengan daerah lain di Indonesia, hadir setahun sekali di Singkawang dan menjadi momen yang ditunggu, termasuk oleh para turis.
Keunikan ini terungkap dalam Seri Acara Gastronomi Indonesia Cang Nyiat Pan, Mengenal Lebih Jauh Budaya Cap Go Meh di Kalimantan Barat, yang diadakan Aksara Pangan, pada 24 Februari 2021. Tiga peranakan Tionghoa, yakni Budayawan Singkawang Dr. Hasan Karman, SH, MM, Chef @hasankarman_ ,Wira Hardiyansyah @wirahardiansayah2.0 dan Chef Meliana Christanty @melianachristanty membuka wawasan lebih jauh mengenai Cang Nyiat Pan.
Cang Nyiat Pan, apa itu?
Menurut Dr Hasan Karman SH, MM, Budayawan Singkawang yang pernah menjabat sebagai Walikota Singkawang pada periode tahun 2007-2012, Cang Nyiat Pan dalam dialek Hakk/Khek artinya pertengahan bulan pertama.
Budayawan Singkawang Dr Hasan Karman. (Sumber gambar : materi Dr Harman Karman) |
Masyarakat di Jawa lebih mengenalnya dengan sebutan Cap Go Meh. Ini berdasarkan dialek Hokkian/Theochew yang berarti malam ke-15 setelah imlek. Disebut juga, Yuan Xiao Jie dalam bahasa Hanyu/Mandarin, yang berarti perayaan malam utama. Hal ini karena malam 15 jatuh pada bulan pertama Imlek dan merupakan penutup Perayaan Tahun Baru Imlek. Cang Nyiat Pan adalah Cap Go Meh dengan perbedaan penyebutan.
Perayaan Cang Nyiat Pan senditi dimulai sejak ribuan tahun lalu, dimulai dari Dinasti Han (206-221 M). Menurut legenda di masa itu, dilakukan ritual untuk menghormati dewa Thai Yi (dewa tertinggi dalam Taoisme). Ritual diadakan secara tertutup pada tanggal 15 bulan pertama Imlek.
Secara terbatas, ritual dilakukan di Istana pada malam hati. Tidak terbuka untuk publik. Lantaran malam identik dengan gelap, segala sesuatu dipersiapkan, seperti penerangan yang mampu bertahan dari senja hingga keesokan harinya.. Lampu minyak dan lampion dihadirkan. Itu sebabnya orang Barat kelak menyebutnya sebagai Festival Lampion(lantern Festival) mengingat begitu banyaknya lampion yang digantungkan.
Setelah Dinasti Han runtuh, perayaan Yuan Xiao Jie semakin dikenal masyarakat umum. Begitupun halnya dengan keturunan Tionghoa yang telah melakukan migrasi dari Tiongkok Daratan, sejak berabad-abad yang lalu.
Sebagai banga yang memiliki sejarah lebih dari 8000 tahun, tradisi dan budaya ikut melekat. Cap Go Meh pun dirayakan negara-negara di luar Tiongkok, pada lokasi para perantau menetap. Tak berbeda halnya dengan di Indonesia, Singapura dan Malaysia.
Selain melakukan ritual sembahyang syukuran pemeluk Tridarma yakni Taoisme, Buddhisme dan Konfusianisme, Cap Go Meh dirayakan dengan berkumpul bersama keluarga makan bersama, pasang lampion, membakar kembang api, menikmati keindahan bulan purnama, dan lainnya.
Keunikan Cang Nyiat Pan Singkawang
Lalu apa keunikan Cap Go Meh di Singkawang? Cap Go Meh seharusnya jatuh pada 26 Februari 2021. Namun pada masa pandemi, perayaan arak-arakan Cap Go Meh ditiadakan untuk menghindari adanya kluster baru Covid-19.
Selain perbedaan penyebutan Cang Nyiat Pan untuk Cap Go Meh, kegiatan perayaan di Singkawang punya keunikan tersendiri yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia, bahkan di dunia.Pada hari ke-12 (H-3) sebelum Cap Go Meh, Kota Singkawang penuh dengan hiruk pikuk kelompok Tatung.
Kelompok ini berkeliling dengan tabuhan yang ramai, dengan kepercayaan bahwa para shaman/dukun membersihkan kota dari unsur-unsur negatif yang jahat. Ritual ini berlangsung berdasarkan legenda dari mulut ke mulut sejak abad 18.
Pada Hari H (Hari ke-15),ritual ini mencapai puncaknya. Seluruh kelompok Tatung, berkeliling kota dan melakukan sembahyang di Kelenteng Thridarma Bumiraya yang berada di tengah kota. Ini merupakan aksi yang ditunggu-tunggu para tamu dan turis.
Biasanya, setelah pawai keliling kota, digelar acara lelang barang-barang yang sebelumnya diletakkan di altar sembahyang kepada Kaisar Langit (Jade Empreror/Yuhuang Shangdi).
Wisata Kuliner Singkawang
Kemeriahan Cang Nyiat Pan turut mengubah wajah Singkawang. Hal ini juga seiring dengan sejak 1980-an, banyak anggota keluarga yang mulai bekerja sebagai karyawan di perusahaan orang lain dan masuknya orang luar. Rumah makan mulai tumbuh dan bertambah karena banyaknya yang makan di luar rumah.
Hal ini jauh berbeda dengan kondisi dahulu, saat hampir semua rumah masak sendiri. Satu keluarga terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak, kakek, nenek, atau saudara lain, tinggal bersama. Biasanya, keluarga besar ini ikut membantu masa pencaharian dengan cara dagang, tukang jasa, pertanian, dan pekerjaan lainnya dan makan di rumah tersebut.
Saat itu dinilai lebih ekonomis masak sendiri.Sehingga, orang yang makan di warung atau di luar jutru dianggap orang yang tidak punya keluarga atau orang asing. Mengingat kebiasaan masak dan makan di rumah sendiri, tidak heran jika anggota keluarga umumnya bisa ,masak.
Gaya masakan rumah-rumah makan disajikan seperti masakan rumahan. Tamu boleh memilih bahan dan minta dimasak sesuai dengan seleranya..Sayuran segar, ikan, udang, daging, dan lain-lain dipajang dan digantung di etalase.
Tentu saja, mereka yang merantau keluar Singkawang, banyak yang merindukan makanan rumahan.Di perantauan, makanan rumahan ini diceritakan bahkan dimasak untuk dicicipi orang luar. Makanan rumahan Singkawang pun tersiar keluar daerah, menjadi daya tarik bagi para pelancong untuk datang ke Singkawang.
Makanan peranakan Singkawang dan Pontianak
Meski sama-sama tinggal di Kalimantan, terdapat perbedaan dalam penamaan makanan oleh peranakan Singkawang dan Pontianak. Hal ini karena beda bahasa dan sub etnis. Pontianak mayoritas berasal dari suku Teochew, sementara Singkawang, Sambas dan Bengkayang mayoritas sub etnis Hakka (Khek)
Leluhur mereka sebenarnya sama, yakni Tionghoa Selatan, tepatnya di Provinsi Guang Dong. Namun dialeknya sangat berbeda. Malah kadang sama sekali tidak ada persamaan ucapannya. Contohnya Kwetiau dalam Teochew adalah Kwetiau tapi dalam bahasa Hakka adalah Pan Thiau.
Mie dalam bahasa Teochew adalah mie, tapi dalam bahasa Hakka adalah Mien. Contoh lainnya untuk nasi campur ayam dan daging, dalam bahasa Teochew adalah Ke peng, sementara pada bahasa Hakka adalah Kai Fon.
Sumber materi dan gambar : chef Meliana Christanty. |
Makan Besar Saat Cang Nyiat Pan
Chef Meliana
Christanty, peranakan Jawa yang banyak mempelajari kuliner nusantara, terutama kuliner tradisonal suku-suku di 5 Provinsi Kalimantan mengatakan, saat Cap Go Meh, biasanya tersedia makan besar. Ada 8 hidangan
utama dan hidangan pendamping.Ada aneka kudapan, seperti kue basah, kue kering
dan kue-kue lain.
Kue-kue itu adalah nastar, sagu keju, butter cookies meyte, lempok durian,dodol (keladi, lidah buaya, labu kuning), lapis legit, kue keranjang (nian gao). Buah-buahan seperti jeruk pomelo, dan jeruk Mandarin tersedia. Begitupun minuman berupa air mineral, teh, minuman bersoda dan minuman beralkohol.
Setiap keluarga punya kekhasan masing-masing. tetapi pakem yang diabut akan tersaji 8 jenis hidangan, termasuk nasi dan buah. Total hidangan ada 10 jenis. Jenis hidangan yang tersaji di acara Cap Go Meh, yakni .:
1.Chiang Mie
2. Masakan Ca (hebiaw/Fish maw, bakso ikan, haispn/teripang, rebung,Sam chan)
3.Hekeng.
4. Ikan. Boleh ikan Dorang, dogang/bawal jenis putih, jelawat, Ikan bodoh (nga hr/ Marble gobi/marble sleeper/oxyeleotris marmoratal. Nama lainnya bakut, bakutut, belosoh, boso, bobodo, gabus bodoh,ketutuk, ikan malas, ikan hantu. Metode pemasakannya digoreng dengan kunyit, dikukus dengan jahe.
5.
Teksun (rebung ditumis dengan daging)
6.Udang
galah asam garam
7. Babi, yang diolah menjadi phak lo sam chan dimasak lho.Jika tidak suka babi, bisa diganti dengan ayam atau bebek lalu dimasak Lo, dengan tambahan telor rebus. Ada juga Te Ka atau kaki babi dimasak cokelat, yang kadang campur Haisom. Cai Kwa yakni sawi asin kering yang dimasak dengan sama chan. Sate babi bisa diganti dengan ayam.
8.Sup
bebek asinan plum ( bila tidak suka bisa diganti dengan asinan jeruk
nipis.
9.Ayam,
yakni ayam arak, ayam serundeng,kari ayam kampung
10.
Selade
11.Salad
buah
Selain itu, tersedia juga kondimen untuk mendampingi hidangan tersebut, yakni sambal
belacan, sambal mangga muda, cincalok dicampur kalamansi (kita kia), irisan
cabai rawit, ebi dimatangkan dengan air kalamansi, lalu dicampur dengan irisan
sawi asin dan irisan cabai rawit merah.
Hidangan
lain bisa untuk pelengkap adalah daun kunyit muda dan yan pou (ikan telang)
dikukus.Sambal terasi buah mawang/asam Kalimantan dan ikan asin fermentasi (yan
pou). Terung asam rimbang, bunga kunyit.dan asam pedas ikan.
Perpaduan Budaya dalam Makanan
Makanan Indonesia kini merupakan perpaduan makanan Barat dan makanan Timur.Sejak zaman dulu perpaduan dua budaya dalam makanan (fusion food) sudah terjadi. Lalu bagaimana dengan msakan Tionghoa? Kapan sebenarnya masakan Tionghoa itu tiba di Nusantara?
Chef Wira Hardiansyah,food heritage educator yang mendalami budaya kuliner lokal Indonesia mengatakan, sebelum masehi, interaksi dengan Tionghoa sudah berlangsung selama berabad-abad. Sebutan Huang Tse untuk Nusantara. Antara Tiongkok dan Jawadwipa (Jawa), telah terjalin sejak Dinasti Han tahun 131 SM. Kalau tertulisnya pada tahun itu, perpaduan budaya itu mungkin saja sudah lebih lama lagi.
Dalam prasasti Watukara I 1902 M dalam buku karya Timbul Haryono, Inventarisasi makanan dan minuman dalam Sumber-sumber hukum tertulis, 1997), terdapat kata tahu alias tahulan. Hal ini berarti sejak tahun 132 SM, sudah banyak berkembang. Apakah tahulan ini betul-betul yang dimaksud adalah tahu. Tahu di dalam prasasti itu
Begitupun halnya dengan kuliner. Banyak budaya Tionghoa yang diserap Nusantara. Misalnya berbagai saus dan kecap. Para pendatang membuat tahu, kembang tahu, mie, bihun, soun, kecap, tauco dengan memanfaatkan bahan-bahan setempat. Ishwara Helen, peranakan Tionghoa Indonesia, sebuah perjalanan budaya, 2009).Inipun kemungkinan hanya sebagian dan mungkin tidak hanya bahan baku.
Membicarakan perpaduan budaya Tionghoa, datangnya ke Nusantara berbeda-beda dari beberapa dinasri. Tidak seketika.Misalnya pada zaman Kerajaan Majapahit, Kerajaan Sriwijaya, Bukan hanya bahan baku, tapi ada juga teknik memasak.
Misalnya saja, pada teknik menggoreng yang diadaptasi dari orang Tionghoa. Kuali dan penggorengan pun adalah alat memasak yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa. (Lombard Denys, Nusa Jawa Silang Budaya : Jaringan Asia)
Selain itu, masyarakat nusantara pun mengenal menumis (Fann Chao), dengan sedikit minyak (jian), dalam banyak minyak (zha) yang sebelumnya tak pernah diketahui. (Chen Aji Joseph, Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara 2013).
Ada asimilasi budaya. Masakan Tionghoa yang murni tidak memiliki rasa yang kaya, rumit atau kompleks karena lebih menekankan cita rasa asli. (Ishwara Helen)Contohnya, saat kita masak, yakni saat bawang putih yang asal Cina dan bawang merah yang berasal dari India bertemu. Di Tionghoa sendiri tidak dikenal Sari Ikan seperti di Indonesia. Rasa yang dihadirkan hampir sama dengan masakan Barat. Tidak sekompleks masakan nusantara.
Kebhinekaan dalam kuliner
Menurut Chef Wira, ada kemiripan makanan di Nusantara yang bernama Jenang Gempol dengan wedang ronde (Tang Yuan).Uniknya pada sajian tumpeng yang dihadirkan dengan mie. Ada juga sayuran. Majna tumpeng yang sakral bertemu dengan mie yang artinya berumur panjang pada masyarakat Tionghoa.
Berbicara kuliner peranakan, sebenarnya ada kuliner peranakan dan kuliner totok.Aimee Dawis dalam Orang Tionghoa Indonesia mencari identitas (2010) mengatakan,totok adalah migran dan keturunannya yang terus mempertahankan bahasa dan budaya dari tanah leluhur..Peranakan adalah mereka yang sudah berasimilasi dengan bahasa dan budaya lokal.
Mengenai Singkawang yang terletak di Kalimantan Barat, menurut Hari Purwanto, orang Tionghoa sudah ada disana, yakni sejak tahun 1740. Mereka datang dan dipekerjakan di tambang emas oleh Sultan Sambas Orang Cina Khek dari Singkawang 2005.
Agak berbeda dengan Jalur Renpah, orang Tionghoa hanya transit menuju Malaka. Kalimantan saat itu menjadi tempat transit. Disitulah mulai terjadi asimilasi budaya besar-besaran. Rata-rata makanan ikonik adalah makanan Indonesia, seperti bubur pedas.
Orang Nusantara lebih mengenal dengan bubur gunting. Resep turun menurun warga keturunan Tionghoa yang bermukim di Singkawang. Liuk Theu San, yang berarti bubur kacang hijau serasa intan.
Ada juga Choipan dari bahasa Hokkian (khek) yakni Choi Bengkuang, dari sayuran, Pan berarti Kue.Tradisi memasak Tionghoa sampai sekarang masih kita adopsi. Penggunaan wajan, metode memasak dengan cara menumis, serta bahan pangan berupa tahu.
Kuliner Tionghoa ini memberikan warna bagi kuliner asli Indonesia.Semakin banyak inovasi kuliner baru Indonesia. perannya sangat besar dalam variasi rasa pada kuliner asli Indonesia. Kebhinekaan ada pada semua masakan Indonesia. (dhu)
Dan, bener banget ternyata pengaruh cara masak dan kuliner tionghoa ternyata sudah mendarah daging di nusantara ini ya sejak lama, aku pengen banget ke Singkawang saat Cang Nyiat Pan
BalasHapussangat beragam sekali kebudayaan yang ada di Nusantara
BalasHapus