![]() |
"Bagi saya, kandang ternak telah menjadi salah satu ruang paling jujur
untuk belajar tentang kerja keras, keteguhan, dan rasa syukur,"
--Tatag Adi Sasono, Penggagas Ternak Desa dari Tuban, Jawa Timur.--
Lepas subuh, semburat jingga kemerahan muncul di langit. Perlahan warna itu
memudar berganti terang dan cerah. Matahari terbit memancarkan sinarnya.
Menggunakan sepatu boot, langkah kaki Tatag tegap berjalan melewati tanah berlumpur menuju kandang hewan ternak.
Suara kambing dan domba bersahutan menyambutnya. Aroma khas hewan berbulu gimbal tercium. Hujan atau tidak, aktivitasnya dengan tim di Mitra Ternak harus dimulai setiap hari.
Hewan tidak pernah mengenal Sabtu Minggu atau tanggal merah. Mereka selalu membutuhkan pakan, air, dan perhatian setiap hari. Di saat yang sama, kepercayaan yang diberikan para mitra dari berbagai daerah dan luar negeri untuk menitipkan kambing dan domba melalui program Mitra Ternak harus dijaga.
Mitra Ternak adalah program penitipan hewan ternak yang digagas oleh Tatag Adi
Sasono, pemuda asli Desa Ngrayung, Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban.
Usaha Mitra Ternak dari PT Mitra Ternak Berkelanjutan berkembang
pesat sejak didirikan tahun 2024 meski tak pernah terbayangkan
sebelumnya,
"Dalam satu tahun setengah saya nggak menyangka sekarang sudah lebih dari 250 mitra. Nggak hanya di Indonesia. Ada yang dari Singapura, Malaysia, dan Thailand," kata Tatag Adi Sasono, saat ditemui usai awarding Satu Indonesia Jakarta.
Lelaki berusia 28 tahun ini baru saja terpilih sebagai Penerima Apresiasi
16th Satu Indonesia Awards bidang Kewirausahaan,5 November 2025. Buah atas keberanian
dan keuletan berwirausaha melalui ternak desa.
Sempat mengalami kerugian besar saat mengawali usaha ternak desa, saat ini luas area peternakan Mitra Ternak mencapai 5.000 meter persegi dengan jumlah kambing dan domba mencapai lebih dari 1.000 ekor dengan 300 mitra ternak.
Canggung, Bangkrut dan Ditipu
Perjuangan Tatag untuk menggagas ternak desa di Ngrayung berawal dari keresahan
yang muncul di hatinya saat bekerja di sebuah perusahaan internasional.
Kampung halamannya seakan memanggil-manggilnya pulang meski Tatag tahu tidak pernah ada yang istimewa dari desa tempat kelahirannya itu
Seperti halnya di desa-desa lain yang ada di Tuban, masyarakat Desa Ngrayung sangat mengandalkan sektor pertanian untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Desa Ngrayung adalah salah satu desa terkecil yang terletak di Tuban, Jawa
Timur. Tatag tahu betul kondisi gersang tanah sawah tadah hujan di desa
kelahirannya.
Tatag sudah lama merantau.Sejak lulus SMP di Tuban, beasiswa yang diperoleh mengantarnya ke SMA Sampoerna Academy, Bogor, Jawa Barat
Masih berbekal beasiswa, Tatag melanjutkan kuliah double degree di Oregon State University dan Sampoerna University bidang Akuntansi dan bisnis.Memasuki dunia kerja, Tatag berada di Jakarta. Sebelum akhirnya Pemuda kelahiran 17 September 1997 mendapat pekerjaan di Kawasan Jawa Timur.
Hatinya semakin kuat. Lelaki berkaca mata ini merasa sudah saatnya kembali ke kampung halaman dan tinggal dekat dengan keluarga. Anak dari sekretaris desa (Sekdes) ini ingin berrmanfaat kepada masyarakat sekitar.
Apalagi, sejak masa kuliah, Tatag sudah mulai membeli sawah dari uangnya hasil dipercaya memegang proyek besar dari India. Dengan modal itu, Tatag lebih memilih membangun usaha peternakan karena lebih menjanjikan daripada pertanian.
Tatag mengatakan, untuk satu hektar sawah paling besar satu hektar padi hanya menghasilkan Rp. 7 juta. Sementara kalau satu hektar tanah buat peternakan, bisa untuk ribuan ekor
“Ngrayung tempat saya lahir. Jadi saya melihat itu problem ya, privilege
karena saya tinggal di desa. Saya melihat, wah ini kalau kita coba bisa
kembangkan apalagi sekarang digital. Ya kita nggak menutup kemungkinan desa
kecil tapi bisa didatangi tamu dari Jakarta dari mana saja,” tutur Tatag,
seraya menyebut potensi wilayah yang dekat sebuah stasiun kereta .
Namun, keputusan Tatag untuk mulai membangun usaha peternakan tak sepernuhnya mudah. Pemuda ini harus bergulat dengan dirinya sendiri yang sempat merasa canggung sebagai lulusan terbaik dari luar negeri.
"Ada pertanyaan yang muncul dalam hati saya, bagaimana mungkin seseorang yang pernah kuliah di luar negeri dan bekerja bersama perusahaan serta lembaga internasional justru memilih menghabiskan hari di dalam kandang ternak, memegang rumput basah, mencium bau khas domba, dan berdiri di tanah yang berlumpur setiap pagi?" ujarnya.
Saat memulai peternakan, Tatag juga hanya bermodal nekat tanpa adanya latar belakang pendidikan Agrikultur. Tatag melakukan sistem trial error 100 ekor meski hampir selalu ada yang mati di awal. Namun, Tatag adalah Tatag, yang dalam Bahasa Jawa berarti berani.
"Kebetulan saya trial awal pas covid. Trial-nya sapi dan
itu mulai berhasil. Tapi ternyata ada wabah penyakit Kuku Mulut," kata
Tatag.
Petaka itu membuat Sapi yang harga seharusnya Rp. 25 juta ternyata cuma laku Rp. 3 juta. "Dari situ mulai berpikir wah kayaknya ini berat. Dari situ saya juga mulai berani mengatakan ini berat, ini nggak visible," ujar Tatag.
Tatag melihat jika ingin dikembangkan lagi tidak mudah karena sapi itu harganya mahal dan juga sistemnya dihutang. Rumah Pemotongan Hewan (RPH) rata-rata lebih suka berhutang.Kemudian Tatag melirik ternak domba dan kambing.
Pertimbangannya, daya beli masyarakat tinggi, harganya tidak setinggi ternak yang lain. Kebutuhannya juga banyak, kurban aqiqah, sate dan sebagainya.Selain itu, potensi Domba tinggi. Tuban adalah nomor dua penghasil domba di Jawa Timur. Di sisi lain, Jawa Timur adalah salah satu provinsi besar di Indonesia.
Ketika sudah mulai menemukan model bisnis, Tatag pun ingin membangun kemitraan eksternal. Sayangnya Tatag ditipu. "Kenanya di DP. Ternaknya dijual tapi uangnya nggak disetor. Dia menggunakan jaminan sertifikat tanau palsu. Rugi hampir Rp.200 juta," tutur Tatag, yang menyadari kenaifannya percaya pada orang baru dikenal.
![]() |
Habis Musibah, Muncullah Kemitraan Ternak
Meskipun harus mengalami kebangkrutan dan kegagalan karena ditipu saat
menggagas ternak desa, Tatag tidak menyerah.
Anak kedua dari tiga bersaudara ini justru mampu melihat dari sisi lain.
"Ada satu kebahagiaan ditipu itu, saya melihat sektor ini market-nya besar
sehingga ada pemain-pemainnya," tukas Tatag.
Tatag pun bangkit. Dari situlah akhirnya muncul program kemitraan
titip Ternak. Daripada kandang bekas sapi tidak terpakai, Tatag mencoba
untuk membuat hotel ternak.
"Peternak baru tidak perlu membuat kandang. Tidak perlu belajar dari nol. Tidak perlu merekrut. Cukup kemitraan saja," kata Tatag
Setiap kandang didesain dan dilengkapi dengan CCTV selama 24 jam yang bisa dilihat para mitra. Calon mitra pun dapat berkunjung. Tatag memperkuat segala sesuatu dengan data dan transparansi. Bahkan, Tatag berinovasi membuat KTP Ternak.
"Di Mitra Ternak, ternak itu benar-benar dengan data yang jelas. Bahkan kami menciptakan KTP Domba. Inovasi KTP Domba dan datanya kami juga menciptakan asuransi kematian domba," tutur Tatag.
Tatag menolak kemitraan ternak sama dengan investasi yang hanya titip uang.
Dalam kemitraan ada kerja sama dan tranparansi. "Saya mau menciptakan peternak
baru. Kalau mau bergabung harus beli ternak dulu di saya, Mitra Ternak.Baru
kita jalin kemitraan titip ternak," tutur Tatag.
Kemitraan tertuang dalam Surat Perjanjian Kerja Sama (SPK) dengan durasi kontrak titip ternak yang jelas.Indukan ternak dan anaknya tetap milik mitra. Jika masa kontrak habis, pilihan para mitra yang disapa dengan bosku dan juragan ada tiga, tetap lanjutkan kontrak, dijual, atau diambil oleh mitra.
"Anaknya kalau kita beli Rp.60.000 per kilogram kemudian mereka gratis semua perawatan, Cuma bayar pakan per bulannya Rp.100 ribu per ekor. Kematian pun ada garansinya uang kematian Rp.500.000," jelas Tatag.
![]() |
| Tatag dengan Piala SIA Kewirausahaan (dok.windhu) |
Memangkas Peran Tengkulak
Bisnis model kemitraan titip ternak yang aman ternyata disukai para mitra. Para calon peternak baru tidak perlu khawatir pada risiko peternakan atau merugi karena tanpa pengalaman. Para mitra berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri.
Di sisi lain, kemitraan titip ternak ternyata juga mampu memberdayakan masyarakat desa sekitar, dengan sebagai penyedia pakan ternak. Tak hanya itu, Mitra Ternak bahkan behasil memangkas peran tengkulak atau midleman saat panen. Selama ini tengkulak dinilai lebih cepat dalam memberi uang pembelian.
Selama ini, bagi masyaraka petani, memiliki ternak lebih untuk tabungan dan simpanan, seperti untuk keperluan anak sekolah. Jadi lebih memilih tengkulak yang dianggap bisa menaksir harga lebih tinggi meski kenyataannya tidak begitu. Tengkulak biasanya malah di bawah harga.
Tatag mencari cara bagaimana agar usaha peternakan dapat menguntungkan masyarakat. Sebagai pemuda asli Desa Ngrayung, Tatag tahu yang dibutuhkan masyarakat adalah kenaikan pendapatan, sehingga akan mau berubah sendiri karena ada insentif.
Untuk memangkas peran tengkulak, Mitra Ternak menggunakan sistem timbangan untuk penjualan ketimbang sistem taksir yang biasa digunakan tengkulak. Sistem timbangan domba pun tidak mudah.
"Pertama, mereka tetap percaya, sebutlah tengkulak karena maunya cepat. Saya bilang begini, kata siapa saya nggak bisa kasih uang cepat. Yang kedua, menurut mereka enak taksiran kan jauh lebih mahal. Kata siapa, coba dulu," tutur Tatag.
Menurut perhitungan Tatag, pembelian dengan sistem timbangan mampu meningkatkan pendapatan petani hingga 30 %. Kalau melalui taksiran, harga satu ekor domba bisa hanya Rp.1,5 juta, sementara melalui timbangan bisa Rp. 2 juta..
Mitra Ternak juga memanfaatkan sistem getok tular di masyarakat desa yang
ternyata berhasil. Ketika melihat contoh satu orang berhasil maka yang
lainnya ikut. "Ketika satu saya beli bermitra dan ternyata lebih besar
dari beli dari tengkulak otomatis ke depannya mereka nggak mau lagi dijual ke
tengkulak," ujar Tatag.
![]() |
| Rapat Mitra Ternak (dok. Mitra Ternak) |
Memberdayakan Masyarakat
Melalui Mitra Ternak, Tatag menjamin kualitas dan standard seperti bobot dan kesehatan. Ada SOP (Standard, Operating, Procedure), pelatihan untuk megembangkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) pekerja. Soal pengiriman ternak tak masalah karena banyak ekspedisi domba.
Tatag memanfaatkan digital martketing. Melalui media sosial Instagram dan Tik Tok sangat luar biasa efektif. “Mitra-mitra itu justru saya nggak kenal semua dan saya happy karena mereka memberikan feedback. Setiap feeedbacknya saya tulis,” ujar Tatag.
Melalui Mitra Tenak, bukan hanya tercipta peternak muda tapi juga terjadi penyerapan tenaga kerja. Tatag juga bisa memberdayakan masyarakat sebagai penyuplai pakan ternak sehingga menambah penghasilan. Anak muda setempat ditawari menjadi anak buah kandang (ABK) -sebutan untuk pekerja di kandang ternak-
Hal ini sangat membahagiakan Tatag dapat berkontribusi pada masyarakat melalui kewirausahaan. Hal ini sejalan dengan Astra yang memiliki jejak kontribusi dan sosial melalui empat pilar, yang terdiri dari kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan kewirausahaan
Tatag merasa terharu saat tahu salah satu anak muda yang menjadi anak buah kandang (ABK) berhenti menjadi pecandu narkoba setelah beraktivitas di Mitra Ternak. Apalagi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik per Maret 2025, Kabupaten Tuban masuk lima besar kabupaten termiskin di wilayah Provinsi Jawa Timur.
Saat ini tim Mitra Ternak ada 20 orang, ditambah peserta magang ada sekitar 30-40 orang. Dalam tim sudah terdapat tenaga kesehatan, marketing sales, dan pendata. Setiap satu ABK pegang 100 ekor domba.
Tatag sadar harus Satukan Gerak Terus Berdampak. Pemuda yang ingin lebih berfokus pada agripreneur dan usaha yang menjangkau hulu dan hilir. Jika hanya di hulu saja akan habis. Tatag akan memantapkan hilir melalui hewan qurban, pengolahan pupuk organik dan launching katering aqiqah. Harapannya, agar bisa scale up (memperbesar bisnis secara strategis dan menyeluruh).
Kini Tatag tidak selalu turun ke kandang setiap hari, tetapi saya selalu ada ketika dibutuhkan. Saat ada kelahiran, ketika pakan baru harus diuji, atau ketika ada hewan yang sedang sakit dan memerlukan perhatian lebih serius
“Pada momen momen seperti itulah saya merasa pekerjaan ini bukan hanya
tentang membangun sebuah bisnis, tetapi tentang menjalani panggilan hidup.
Pada akhirnya, saya sampai pada satu kesadaran yang mengubah cara saya memandang pekerjaan,” tutur Tatag.
Nilai seseorang bukan terletak pada seberapa rapi pakaiannya, seberapa tinggi gelarnya, atau seberapa megah ruang kerjanya. Nilai seseorang ada pada seberapa besar manfaat yang ia berikan bagi orang lain dan seberapa tulus ia menjalani prosesnya, bahkan ketika proses itu membuat bajunya kotor oleh tanah kandang.
Tatag berpesan khususnya anak muda, kaum perintis yang selalu berpikir untuk usaha harus all in harus fokus 100 %. Menurutnya itu memang benar tapi kurang tepat. Untuk kaum perintis, harus mengakui masih kurang modal, kurang koneksi, kurang networking, Sehingga kita harus menerima kelemahan yang dimiliki.
“Jadi paling benar adalah sembari kita melakukan trial, booth straping istilahnya bagi start up harus kerja. Tapi kita kerjanya harus pilih industri yang memberikan network luas,” kata Tatang.
Meski melelahkan, itulah yang
dilakukan Tatag saat merintis Mitra Ternak
Berkelanjutan. Ketika itu kondisi ekonominya masih jauh dari stabil
sehingga membuatnya tetap bekerja sebagai Senior Business Consultant di sebuah
perusahaan internasional.
"Siang hari saya berdiskusi dengan perusahaan pakan, produsen obat hewan, dan pelaku perdagangan untuk mengembangkan model bisnis yang viable di luar kota besar. Sementara pada malam dan akhir pekan, saya merintis usaha ternak saya sendiri dari bawah, menguji inovasi, membangun kemitraan, dan mencari pasar," tutur Tatag.
***
Catatan :
-wawancara langsung dengan Tatag Adi Sasono
- Sumber foto berasal dari Tatag Adi Sasono dan Mitra Ternak







Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan memberikan komentar positif demi kemajuan dan kenyamanan pembaca.