Neng Koala, Kisah-Kisah Mahasiswi Indonesia di Australia yang inspiratif untuk dibaca (dok.windhu) |
ENTAH kenapa, perlahan muncul rasa
malu sekaligus iri begitu membaca lembar demi lembar buku pink berjudul Neng
Koala, Kisah-Kisah 34 Mahasiswi
Indonesia di Australia, yang diterbitkan
oleh PT Gramedia Pustaka Utama.
Malu karena saya mengakui betapa
hebatnya perjuangan perempuan-perempuan ini menggapai pendidikan tingginya. Iri
yang positif karena timbul keinginan untuk bisa seperti mereka. Para perempuan
yang mampu mewujudkan keinginannya meraih pendidikan di luar negeri, dengan
berbagai kondisi yang dimiliki.
Kuliah di luar negeri? Anganan itu
pernah ada. Ya, setidaknya saat saya (dulu) masih duduk di bangku sekolah
menengah. Jerman merupakan salah satunya.
Kemudian Amerika Serikat, dan Australia.
|
Sederhana saja, karena banyak orang hebat yang lulusan dari negara itu di Indonesia. Lulusannya menghasilkan karya yang luar biasa di dalam negeri. Memiliki pikiran cemerlang dan tindakan yang lebih maju.
Selain itu, lulusan luar negeri
dikagumi, disegani, dan pastinya menduduki posisi pekerjaan kelas atas bila
sudah kembali ke negeri Indonesia. Hal itu tentunya berpengaruh pada
penghasilan yang juga tinggi. Hidup yang semakin mapan. Setidaknya itu
anggapan saya, yang mungkin sama dengan banyak pandangan orang.
Namun semua itu berlalu seiring dengan
waktu karena merasa semuanya tidak
memungkinkan. Terlalu banyak yang harus dihadapi. Terlalu banyak yang membuat
langkah saya harus terhenti.
|
Ya, bila mengingat satu persatu banyak
sekali yang harus menjadi pertimbangan. Berpikir realistis (atau coba
meyakinkan diri mengenai itu) menjadi salah satu yang menjadi pegangan agar
tidak menyusahkan orang tua.
Kebutuhan ekonomi dan rutinitas tak
berkesudahan setiap hari, membuat keinginan kuliah ke luar negeri semakin
memudar dan terasa menjauh. Ah, itu
hanya berlaku bagi yang mampu saja. Baik secara finansial, maupun nilai akademi.
Itu pikiran yang terlintas dan semakin menjauhkan keinginan.
Kuliah lagi? Sudahlah, nanti saja.
Bahasa halusnya, lupakan saja. Lagipula, kalau harus kuliah lagi, sedikit
banyak orang tua yang benar-benar semakin tua dari segi usia pasti mau tidak
mau akan direpotkan secara (tak) sengaja.
|
Hahaha, mungkin terdengar miris.
Namun, itu juga yang pernah disampaikan salah seorang kerabat saat anaknya
ingin melanjutkan jenjang S2. Sebenarnya lebih berharap anaknya untuk punya
pasangan saja dan mempersiapkan keluarga.
Alasannya, takut jodoh semakin menjauh
bila pendidikan semakin tinggi. Jadi, perempuan usia matang menikah yang ingin
menempuh pendidikan semakin tinggi, harus
mempertimbangkannya dengan baik-baik.Namun, saya yang suka menulis blog ini, tercerahkan ketika membaca
Neng Koala.
|
Masak,
Manak, Macak
Saya ingat, pernah ada seorang rekan
kerja laki-laki beberapa tahun lalu yang seraya tertawa mengatakan, jika
setinggi apapun perempuan menempuh pendidikan, ujung-ujungnya ya dapur, sumur,
dan kasur.
Nah saat membaca salah satu tulisan Ellis
Indrawati, yang merupakan tulisan pertama di Buku Neng Koala, bagian pertama bertema
Berburu Beasiswa saya tersentuh dengan tulisannya yang mengatakan, jika banyak
yang mengomentari masa depannya.
Saat berkeinginan menempuh S2, Elis
memiliki status yang belum menikah sedangkan di sisi yang sama, memiliki umur
yang sudah waktunya menikah. Anggapan banyak orang, sebanyak 99, 9 % lulusan S-2, terlebih lulusan luar negeri itu
pastinya akan banyak uang, dan memiliki posisi di pekerjaan.
Lalu, siapa yang berani mendekati
kamu? Jodoh pasti makin jauh saja.
Sudahlah, perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Paling
jatuh-jatuhnya 3 M (Masak, Manak, dan Macak), yang dalam bahasa Indonesia
artinya memasak, memberi keturunan, dan mempercantik diri. Itu yang diterima
Ellis. Istilah yang tidak jauh berbeda dengan dapur, sumur, dan kasur.
Hubungan kasih Ellis akhirnya memang kandas.
Namun, Ellis yakin bila jodoh, rejeki dan maut di tangan Tuhan. Siapa yang
sangka jika Ellis kemudian bertemu dengan kekasih hatinya di Canberra. Siapa
yang bilang sekolah tinggi menjauhkan jodoh?
Ellis mampu mewujudukan keinginannya
berkuliah di luar negeri yang pernah diangankannya sejak sekolah menengah,
namun sempat melupakannya karena kondisi ekonomi orang tua. Bertahun-tahun
kemudian, asisten dosen penelitian yang bekerja di sektor pemerintahan ini bahkan
waktu cukup panjang untuk bisa mendapatkan beasiswa.
Sejak tes pertama baru bisa lolos 4 tahun
kemudian pada tahun 2009. Ellis selalu lulus pada seleksi tes administrasi,
tapi selalu gagal di tes wawancara. Semua itu tak mengendurkan semangatnya.
Mindset dan anggapan memarginalisasi posisi perempuan
hingga kini memang masih ada. Tingginya pendidikan dan status perempuan seringkali
dikhawatirkanmembuat perempuan lupa dengan kodratnya. Mungkin ada beberapa
kasus, lelaki yang merasa harga dirinya
terluka bila kalah dalam hal-hal semacam ini dengan pasangannya.
Padahal,
pendidikan adalah modal penting bagi perempuan. Sebagai ibu, perempuan agen
transfer knowledge bagi anak-anak yang di kemudian hari akan menjadi penerus
bangsa. Kisah Ellis menginspirasi perempuan lajang usia matang untuk tak ragu melangkah.
Tiga perempuan yang memiliki perbedaan kondisi, tapi mampu menyelesaikan pendidikan di Australia (dok.windhu) |
Lajang
Kuliah, Punya Anak pun Kuliah
Kondisi lajang (belum menikah),
berkeluarga dengan punya anak dan suami, atau bahkan seorang single parent (orang tua tunggal) menjadi
tantangan masing-masing bagi para Nengs
(sebutan bagi kontributor buku Neng Koala).
Namun, semuanya memiliki kesempatan
yang sama untuk menempuh pendidikan tinggi di luar negeri, di Australia yang
terkenal dengan hewan koala. Sehingga terciptalah tulisan-tulisan dibukukan
dalam Neng Koala.
Nah, bagi para perempuan yang sudah
memiliki anak dan juga harus mengurus suami tentunya lebih berat. Karenanya,
tak berlebihan jika Kisah-Kisah Keluarga, yang merupakan bagian 2 buku Neng
Koala yang memilliki tebal keseluruhan 254 halaman. Ada 15 kisah para perempuan
yang sudah berkeluarga yang harus melakukan peran ganda sebagai ibu dan juga sebagai mahasiswa.
Mereka tidak hanya harus menyesuaikan
dengan keadaan. Mengurus anak, memasak dan menyiapkan makanan, mengantarkan
anak sekolah dan ke day care,
mengurus suami, sambil sekaligus mengejar deadline assignment.
Ada kisah perempuan yang membawa serta
anak dan suaminya ke Australia, yang tentu saja kemudian beasiswa yang
didapatkan tak cukup untuk menanggung biaya hidup. Harus bekerja sambil kuliah
dan suamipun harus mencari pekerjaan untuk menutupi biaya hidup.
Ada juga yang harus meninggalkan
keluarganya di tanah air selama berkuliah. Ada juga yang bahkan harus meninggalkan
bayinya baru berusia 45 hari demi mewujuskan pendidikan tinggi yang diinginkan.
Ada yang harus menjalani kehamilan,
mengalami masa sulit hamil besar saat kuliah, melahirkan, hingga mengurus bayi
di negeri orang. Ada single parent yang harus sibuk mengurus dua anaknya yang
balita, sekaligus kuliah. Semua memiliki tantangan dan kendala yang membuahkan
hasil manis.
|
Kesempatan Itu Ada
Salut saya muncul saat mengetahui Cucu
Saidah, dengan studi inklusif di Australia Perempuan yang sudah menggunakan
kursi roda ini mampu meraih Master Kebijalan Publik di Universitas Flinders
Australia melalui beasiswa.
Kisah cucu dalam bagian Kehidupan Kampus cukup menggetarkan. Suami Cucu ternyata juga pengguna kursi roda, yang membutuhkan
pendamping. Awal di negeri koala, cucu sempat kesulitan untuk mendapatkan
akomodasi dan kecewa tidak bisa ikutnya pendamping yang biasa mengurus karena
berusia kurang 21 tahun.
Namun ternyata di Adelaide, tugas
personal care mampu dilakukan sendiri oleh Cucu dengan hoist dan sling atau
alat mengangkat badan hidrolik untuk mengurus suaminya. Untuk pertama kalinya
sejak menikah, pasangan ini tidak memerlukan bantuan orang lain dalam menjani
hidup sehari-hari.
Tentu saja ini dibantu dengan akses
dan kondisi seperti transportasi di Australia yang ramah pada difabel.
Perempuan ini mampu mengeksistensikan dirinya. Tak surut semangat untuk meraih
pendidikan tinggi S2 hingga selesai.
Antusiasme tinggi pengunjung, termasuk mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Australia (dok.windhu) |
Kisah
Inspiratif Perempuan
Membaca buku Neng Koala yang berwana pink,
lecutan semangat akan muncul. Dalam hati berdesir, mereka bisa melewati segala
kendala dan tantangan. Berani mengambil
pengalaman yang membuahkan inspirasi, Seharusnya yang lain juga bisa, kan?
Buku Neng Koala layak dibaca bagi semua
perempuan yang ingin memiliki pendidikan tinggi di luar negeri, khususnya di
Australia. Semua perempuan yang pernah bermimpi meraih jenjang perkuliahan S2
dan S3 luar negeri, pertukaran pelajar, ataupun short course.
Status apapun yang dimiliki, seperti
lajang, menikah dengan atau tanpa anak, punya suami dan anak, ataupun single
fighter dengan anak sudah sudah menuangkan kisah inspiratifnya. dalam buku yang terdiri atas 7 bagian ini.
Buku yang berisi kisah-kisah para
mahasiswi Indonesia di Australia, yakni Berburu Beasiswa (6), Kisah-kisah
Keluarga (15), kehidupan Kampus (3), Keseharian di Australia (4), Tips Praktis
(4), Pertukaran Pelajar, Magang,Short Course, dan Volunteering (5), Kembali ke
Indonesia (2 orang).
Neng Koala muncul karena adanya keresahan
kaerna keputusan seorang teman perempuan di Indonesia yang melepas tawaran
beasiswa kuliahnya ke Australia. Melati, kemudian menggagas buku Neng Koala,
yang semula berupa blog kisah-kisah yang diterbitkan via blog. www.nengkoala.id .
Perlunya berbagi tentang kisah
perempuan lainnya, yang berjuang keras dalam situasi yang berbeda-beda untuk
meraih pendidikan di luar negeri. Sebagian besar merupakan penerima beasiswa
yang menempuh studi Master atau PhD. Perempuan yang menulis dengan apa adanya.
Jujur tanpa ditutupi.
|
Perempuan,
Tak ada yang Menghentikanmu
Gaya penuturan dalam Neng Koala
yang bercerita, membuat tidak perlu
waktu banyak untuk membacanya. Jauh dari kening berkerut. Namun tidak
meninggalkan esensi muatan pesan yang disampaikan. Perjuangan untuk meraih
pendidikan tinggi dengan berbagai kondisi.
Tidak ada kesan menggurui dan merasa
hebat dari cerita yang disampaikan Mengalir begitu saja lembar demi lembar
dengan cerita keseharian. Buku yang diberikan kata Paul Grigson (Duta besar
Australia untuk Indonesia 2015-2018) ini juga unik karena menyajikan kamus
dapur, tips-tips untuk bisa menjalani hidup sambil berkuliah dan membiayai anak
di Australia, hingga mendapatkan pekerjaan untuk mencukupi biaya hidup.
Buat saya, rugi jika tidak membaca buku ini buat yang ingin menempuh pendidikan di luar negeri, khususnya Australia. Juga pantas dibagi para lelaki yang memiliki istri,, anak, saudara, maupun teman perempuan yang bercita-cita punya pendidikan S2 dan S3.
Tidak ada kalimat pas
selain yang diucapkan oleh Butet Manurung, Direktur SOKOLA, alumnus Australia National University, dalam akhir kata pengantarnya yang bilang : Ini bacaan wajib
bagi mereka yang sedang mengejar beasiswa studi di luar negeri. Ingat ini
tentang dirimu. Tak satupun yang dapat menghentikan cita-citamu selain dirimu
sendiri. (rwindhu)
|
DATA BUKU :
Judul : Neng Koala. Kisah-kisah Mahasiswi
Indonesia di Australia
Harga : Rp 65.000
ISBN : 978-602-03-8400-9
Terbit : April 2018
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 254 halaman
Cover
: Softcover
Ukuran : 14 x 21 cm
Aku beruntung sbnrnya krn keluarga dan suami juga mndukung banget utk meraih pendidikan setinggi2nya. Tp dlm caseku, akunya yg nolak ambil s2 krn keasyikan kerja dan dapet uang sendiri :D. Sayang memang, tapi kdg prioritas orang beda2. Kalo suami mentingin banget pendidikan, makanya dia bela2in kerja sambil kuliah. Tp aku ga deh.. Kalopun mau belajar lg, aku lbh seneng ambil yg short course aja :D. Makanya selalu salut ama wanita2 yg msh mau kuliah setinggi2nya. :)
BalasHapus