HARI
ini, begitu membuka smartphone yang berbunyi, sebuah penanda muncul. Tanggal 12
November : Hari Ayah. Ingatan saya langsung melayang ke Bapak, begitu aku
menyebutnya. Lelaki pertama yang kukenal dalam hidup sebagai seorang anak
perempuan.
Ya,
Bapak. Buat seorang anak perempuan dimana pun, bapak adalah seorang lelaki
pertama yang hadir dalam kehidupan. . Suara Bapak yang pertama kali terdengar
mengalun saat mengadzani di telinga ketika baru saja membuka mata di dunia.
Bapak pernah menggendong, menyuapi,bahkan memandikan saat kecil. Itupun masih ditambah dengan tugas utama menghidupi keluarga dengan mencari nafkah meskipun tidaklah berupa kehidupan mewah yang dihadirkan.
Bapak,
saya ingat saat masih di sekolah dasar dulu. Saya bertengkar dengan salah
seorang teman, Dini sebut saja begitu. Dia sangat bangga dengan ayahnya
yang bekerja di sebuah perusahaan
ternama. Ayahnya seorang sarjana.
Kamar
besar dengan rumah bagus itu sudah pasti. Mobil untuk berjalan-jalan dan
mengantar sekolah sudah pasti ada untuk Dini. Mainan indah, boneka Barbie
lengkap dengan rumah-rumahannya dia punya. Belum lagi, Dini bisa kursus menari,
kursus bahasa inggris, dan teater. Saya tidak bisa.
Saya
baru menyadari betapa berharganya memiliki seorang bapak saat menginjak SMP
tingkat pertama, Sani seorang teman bercerita begitu sedih ketika ayahnya
meninggal dunia. Begitu sedihnya, setiap tanggal 7 di kalender, yang merupakan
tanggal kepergian ayahnya, disilangnya dengan spidol merah. “Saya tidak suka
tanggal itu. Tanggal itu ayah pergi,” katanya.
Kesadaran
tertinggi betapa beruntungnya saya memiliki ayah adalah saat salah seorang
teman kuliah menangis tersedu-sedu saat pamannya meninggal dunia. Saat saya
bersama teman-teman bertakziah ke rumahnya, dengan air mata berlinang di kedua
pipi dia berkata,” Kenapa Tuhan tidak pernah mengizinkan saya punya ayah. Dulu waktu saya kecil, ayah meninggal. Sekarang, paman yang saya anggap ayah
juga meninggal.”
Memiliki
ayah, ternyata maknanya bukanlah itu. Melalui
sosok bapak, sejatinya saya bisa mengenal lelaki yang bisa melindungi dan
memimpin. Melalui bapak, saya belajar mengenai hidup. Belajar menjadi seorang
anak berbakti, belajar menghargai, belajar menyayangi, dan bersyukur atas anugerah Tuhan. Bapak
adalah Bapak. Cuma satu dan darahnya mengalir di tubuh saya.
Mengingat
itu, saya tersenyum, semua impian orang tua masa lalu adalah semua anaknya
menjadi pegawai negeri sehingga masa depan dan masa tua terjamin karena ada
pensiun.
Saya
tidak pernah tahu kapan saya tiba-tiba punya kemampuan alami untuk menuangkannya
dalam bentuk tulisan. Mengalir begitu saja. Bapak, untukmu saya pasti bisa
mewujudkan kado berbentuk buku itu. Terima kasih.
Selamat
Hari, ayah....
-------------------00000------------------
Jakarta,
121115
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan memberikan komentar positif demi kemajuan dan kenyamanan pembaca.