|
Buat
yang senang dan ingin menjadi penulis, yakinlah. Bukan suatu masalah suatu buku
bagus atau tidak, atau ceritanya luar biasa atau tidak. Satu hal yang menjadi
pembeda suatu karya dalam bentuk buku adalah dengan menuliskannya.
“Bedanya
saya itu ditulis. Mungkin saja tema-teman punya cerita yang lebih menarik. Coba
kalau ditulis, maka bisa saja itu akan menjadi tulisan yang bagus,” kata Ahmad
Fuadi, penulis yang terkenal lewat Negerii 5 Menara, saat diskusi Faith That
Leads di Gramedia Writers Readers
Festival, di Perpustakaan Nasional, Minggu 5 Agustus 2019.
Menulis,
kata Fuadi, melintas batas. Dari situ diharapkan bisa memberi kemanfaaatan bagi
yang membacanya. Jadi, kalau ingin
menulis mulai saja. Jika sdah terbit
tidak akan ada yang jelek. Hal ini juga meyangkut cerita islami. “Sebenarnya di
luar negeri sana, sangat welcome dengan cerita islami,” ujar Fuadi.
Ketika
dihadirkan suatu bacaan yang berbeda dengan sehari-hari, tutur Fuadi, ada dua
kemungkinan yang muncul, yakni muncul bertanya-tanya (curios) atau malah
bersikap cuek saja. Prinsipnya, tulis yang ada kebaruannya. “Sesuatu yang
menurut kita biasa, menurut orag lain belum tentu biasa,” ucap Fuadi.
Fuadi
mencontohkan buku novelnya Negeri 5 Menara, yang berlatar belakang kisah di
dalam pesantren yang terinspirasi pengalamannya dulu. Bagi orang di dalam
pesantren cerita yang diangkat bisa jadi biasa. Bahkan ditertawakan, tapi buat
mereka yang tinggal di luar pesantren, cerita itu unik.
Lewat
novel Negeri 5 Menara itu, kata Fuadi yang sebelumnya pernah menjadi wartawan
VOA ini, pernah dihubungi sebuah kampus di California, Amerika Serikat yang
merasa tertarik dengan kisahnya.
Perjalanan
menulis Ahmad Fuadi sendiri diawali dari profesinya sebagai wartawan yang
menulis berita. Setelah itu, barulah menulis fiksi yang kemudian mencuatkan
namnya lewat Negeri 5 Menara.
Setelah
itu muncul fiksi-fiksi yang lain, hingga terakhir adalah novel fiksi biografi
yang diangkat dari tokoh yang memang benar ada. Merdeka Sejak Hati. Untuk
menulisnya dan mencari data yang tidak ditemukannya di Indonesia, Fuadi bahkan
harus melakukan riset ke Amerika.
Menurut
Fuadi, tulislah yang ingin ditulis. Bisa jadi, tulisan itu bisa berarti bagi generasi
selanjutnya. Jika ingin melakukan sesuatu, lakukan dengan sangat baik. Jika
dengan setengah kemampuan saja sudah bisa mengalahkan orang lain atau lebih
unggul, maka disitulah kekuatan yang dimiliki.
Sejak
tahun 209, Ahmad Fuadi setiap tahun mengeluarkan buku fiksi dan non fiksi yang laris di pasaran. Sejumlah judulnya antara lain Negeri 5 Menara
(2009, Rahasia Penulis Hebat: Menciptakan Karakter Tokoh (2010), Ranah 3 Warna
(2011), Dari Datuk ke Sakura Emas (2011, Negeri 5 Menara: A Movie Companion
(2012), Berjalan Menembus Batas (Man Jadda Wajada Series, #1) (2012, Menjadi
Guru Inspiratif (Man Jadda Wajada Series, #2) (2012), Rantau 1 Muara (2013)
hingga Merdeka Sejak Hati.
|
Uniknya Unsur Matematika Dalam Karya Sastra
Jika
Ahmad Fuadi mengangkat tema kisah berlatar keyakinan atau agama, beda dengan penulis perempuan Henny Triskaidekaman. Dengan
latar kesukaanya pada matematika, maka lahirlah fiksi matematika.
Keunikan
itu membuat Henny Triskaidekaman berhasil memperoleh penghargaan melalui buku fiksi yang diberi judul Buku
Panduan Matematika Terapan. Buku fiksi yang mengangkat matematika memang belum
ada sebelumnya. Karyanya uga masuk kategori Khatulistiwa Literary Award.
Triskaidekaman,
nama pena yang digunakan Henny. Semula dia menulis untuk jurnal ilmiah dan non
fiksi. Pernah suatu ketika ada kawan yang menyampaikan kalau tidak sangat ahli
di bidang non fiksi, suatu buku pengerjaannya akan lama, termasuk di
editorialnya.
Lulusan
kedokteran ini sempat tidak terima meski kemudian akhirnya belajar untuk menulis fiksi. Lalu kenapa
matematika? Semua ini berawal dari ide yang muncul dari obrolan dengan teman
melalui tweet yang menggunakan matematika. Henny membalas tweet tersebut dengan
yang lebih panjang.
Nah
disitulah muncul keinginan untuk membuat fiksi matematika. Kebetulan, Henny
memang memiliki passion di bidang matematika. Sebelumnya, Henny yang menyukai
thriller pernah menulis dengan gaya ini di sebuah platform. Sayangnya, kala itu
respon yang diterima untuk karya thrillernya tidak begitu baik.
Henny
pun segera membuat flash fiction. Namun tak cukup hanya minat dan keinginan,
ternyata perempuan ini masih harus mempelajari lagi buku-buku Professor Ian
Stewart untuk mendukung karyanya. Plus, sebenarnya juga ingin membuat senang
Seno Gumira, yang menjadi juara lomba kala itu.
Henny
menandaskan matematika seringkali dianggap momok pelajaran yang menakutkan bagi anak-anak. Padahal, itu pengaruh dari orang dewasa yang
membuatnya seperti itu. Padahal, matematika bisa dijadikan hal yang
menyenangkan jika disampaikan dengan tepat.
Henny
menandaskan, jika matematika bisa diangkat menjadi sebuah karya fiksi karena
memang belum banyak yang membuatnya. Ke depannya, bisa fiksi dibuat dengan dasar keilmuan tertentu.
Termasuk juga fiksi yang diangkat dari pelajaran fisika.
Lala Bohang, Citra Marina, dan Emte di GWRF 2019 (dokwindhu) |
Nah
bicara soal membuat buku, ada pengalaman menarik dari ilustrator Mohammad
Taufiq yang dikenal dengan Emte. Tidak perlu ragu. Buatlah karya. Jadikan buku.
Jangan hanya kerjakan pesanan orang lain.
Lelaki
ini pernah merasakan dan mengalaminya. Belasan tahun bekerja di bidang desain
grafis, banyak mengerjakan gambar, dan karyanya hadir di ratusan sampul buku,
tapi belum memiliki buku karya sendiri.
Hingga
suatu saat, ucapan seorang editor menyentilnya. Editor bilang, nggak pingin
bikin buku? “Akhirnya timbul pertanyaan diri sendiri, yakin lo mau
terus-terusan ngerjain pesanan orang, gitu? Kan pingin juga bikin yang murni
karya gue sendiri, “ kata Emte
Emte
pun mencari formula bagaimana cara membikn buku. Tidak hanya sekedar buku, tapi
buku yang bisa tahan lama umurnya. “Nggak ingin
kalau cuma bikin keren, tapi nantinya cuma tahun kemudian sudah nggak tahu lagi
gimana-mana,” ujarnya.
Menurut
Emte, terkadang membuat suatu hal yang sederhana malah jauh lebih rumit
daripada mengerjakan sebuah hal yang kompleks. Meski demikian, lelaki yang
memang suka dengan komik sejak kecil dan terinspirasi menggambar dari sepupunya
sendiri ini, selalu menganggap setiap hambatan sebagai tantangan.
Emte,
seorang ilustrator profesional yang mengerakan banyak hal, mulai dari desain
sampul buku, majalah, hingga fashion, juga menjadi pembicara seminar. Karyanya
gugug sangat dikenal.
Seniman
dan penulis Lala Bohang yang merupakan lulusan arsitektur mengakui dirinya
sebagai pembosan ulung. Itu dirasakannya, terlebih ketika harus menuntaskan
tiga seri buku. Buatnya, mengerjakan ketiganya benar-benar beda. Lala terbiasa
mengerjakan tulisan dulu, setelah itu barulah gambar. Tema muncul terakhir.
Kemudian memasangkan gambar dengan teksnya.
“Mana
yang duluan teks atau gambar? Selalu teks,” ujar Lala.
Buat
Lala, menulis adalah proses megeluarkan
pikiran, mengedit, ada unsur mindfull.
Kegiatan mematahkan pikiran kita sendiri.
Tulisan
dan menggambar adalah hal yang kontradiktif. Tulisan merapikan kekacauan,
sedangkan meggambar adalah mengacaukan kerapian.
“Kita nggak tahu diri kita sendiri kalau tidak
menuliskannya, “ tukas Lala, yang menulis The Book of Invisible Questions dan
The Book of Forbidden Feelings.
Lain
Emte, lain Lala Bohong, lain pula dengan Citra Marina. Perempuan satu yang
bekerja kantoran sehari-hari ini seringkali memperoleh inspirasi untuk membuat
ilustrasi saat sedang berada di atas Commuter line.
Dalam
perjalanan waktu ke kantornya di BSD, Citra menggambar ilustrasi Choo Choo,
yang ternyata saat awal sangat disukai oleh kawan-kawannya. Choo Choo serupa
rubah dan seperti anjing. Citra pun mengaku tak pernah menjawab jenisw kelamin
Choo Choo, apakah janta atau betina.
Mengenai
berkarya, Citra menekankan, mulai saja dulu. Jangan kebanyakan menggunakan kata
tetapi dan tetapi. Buatlah karya yang jujur, tidak usah memikirkan nantinya
bagaimana dan bagaimana.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan memberikan komentar positif demi kemajuan dan kenyamanan pembaca.